Rabu, 25 Mei 2016

Dogma Skeptis Paranoia

Kali ini, hanya untuk sejenak kumohon relakan waktumu untuk sedikit mengeja setiap kata yang tergambar samar dalam seduhan kopi hitam yang separuhnya tumpah dari gelas menuju setiap sel syaraf hingga kemudian tertimbun dalam pikiranku.

Bahkan ribuan hari kulalui tanpa sejengkalpun aku dapat menentukan arah dengan pasti. Tak perlu kau tanya mengapa, karena kau tahu dan telah mengikat kedua kakiku pada tiang pilu dengan penuh kesakitan. Erat, sangat erat hingga aku sulit membuka langkah pada setiap arah dan kemungkinan. Dan kesakitan itu semakin menggila ketika secara perlahan aku terbakar oleh penderitaan dan perih yang dangan senang hati datang silih berganti untuk mencekik dan mencoba menghentikan detak jantung yang bahkan telah tercabik sebelumnya dalam senyum yang kini sirna.

Apakah pernah sekali saja bahkan dalam mimpi terburukmu kau coba pikirkan tentang betapa hebat caramu menyakitiku?! Khayalan ini tak berdasar pada logika sebab telah tercurah segala perasaan untukmu. Tak berakal sehat dan tak beralasan, tak terukur dalam dan tak bertepi, tak terhitung massa dan tak berupa, mencoba kembali mengumpulkan setiap kepingan harapan yang telah hancur takkan semudah seperti kau membunuh anganku. Apakah pernah?! Kau pikirkan itu?! Apakah pernah kau pikirkan itu ?!

Tidak, tidak seperti sebelumnya. Hingga kini akhirnya kau lebih berani menginjakkan kakimu di ranah hati yang mungkin hina dan tak bernilai setidaknya di matamu. Atau mungkin aku yang terlalu lebih kecil dari amoeba hingga hembus nafasku yang sudah terengah di sisi lain telinga mu yang telah tersumbat tentang aku, kau tidak mendengar dan tak bisa merasakannya?!

Tidak, takkan pernah sama. Bagaimana mungkin seekor nocturnal dapat minum seteguk sejuknya embun pagi?! Hari ini akan sangat menyakitkan ketika aku merindukan embun pagi jika senja baru saja dimulai. Dalam malam gelap, pekat dan gelap aku tak pernah lupa merindukan sejukmu, betapa hancurnya hatiku ketika tahu matahari menyerap setiap embun diatas genggamanmu. Apakah ini adil?! Bias, terbias, hingga akhirnya benar-benar membias, rapuh, dan menguap.

Dan kali ini,bersama sejuta perih yang tercampur dalam luka,dengan terpaksa kulemparkan senyumku dalam bungkusan rindu yang perlahan rusak sebelum sampai kepadamu. Terima kasih, paling tidak untuk saat ini saja